Selasa, 06 April 2010

Mode Indonesia Bersaing di Pasar Bebas


PENANDATANGANAN perjanjian perdagangan bebas Asean dan China (China-ASEAN Free Trade Agreement), bagai dua sisi mata uang bagi pelaku industri Indonesia. Di satu sisi bisa memberikan keuntungan, di sisi lain mendatangkan kerugian.

Beberapa pelaku industri merasa optimis dengan adanya perjanjian tersebut yang berarti meningkatkan kesempatan bagi mereka untuk memperluas pasar, bahkan bisa jadi menguasai pasar potensial China. Namun, beberapa pelaku industri justru cemas bahwa pasar mereka akan dibanjiri produk-produk China yang terkenal murah, terutama untuk tekstil, garmen, dan aksesori.

Kepala Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia Nus Nuzulia Ishak mengatakan bahwa adanya perjanjian perdagangan bebas tersebut justru merupakan kesempatan emas bagi pelaku industri mode dalam negeri karena bisa membuka peluang pasar. ”Namun, kita pun harus bisa meningkatkan daya saing dan daya mutu di pasar global,” ujarnya di acara seminar FTA (Asean-China) & Sertifikasi di Hotel Aston Primera, Bandung, beberapa waktu lalu.

Peningkatan daya saing dan daya mutu yang disebutkan Nus Nuzulia harus datang dari pelaku mode itu sendiri, selain juga didukung pemerintah. ”Bagaimana kita mau bersaing jika produk kita tidak punya daya mutu yang berkualitas,” terangnya.

Pernyataan Nus Nuzulia diamini oleh Executive Director Indotextiles Redma Gita Wiraguna. Dia mengatakan bahwa industri tekstil dan garmen Indonesia sebenarnya punya potensi untuk bersaing di pasar global yang terbukti dengan terus meningkatnya permintaan akan tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia.

”Indonesia punya potensi, walaupun kita tidak boleh menutup mata dengan turunnya ekspor TPT sepanjang 2009 akibat resesi. Tapi, sebenarnya produk kita bisa bersaing di pasar global asalkan kita mau meningkatkan daya saing dan daya mutu dan tentu itu butuh kerja sama juga dukungan dari pemerintah,” papar Redma.

Salah satu cara meningkatkan daya saing dan daya mutu produk TPT Indonesia di pasar global yaitu dengan memiliki sertifikasi yang kini sudah menjadi standardisasi internasional. Isu pemanasan global serta perusakan lingkungan yang semakin besar setiap tahunnya juga ikut berkembang di industri tekstil dan memaksa produsen untuk lebih concern terhadap produk yang mereka jual. Konsumen mengharapkan produk yang lebih ramah lingkungan dan membuat buyer memilih material yang juga ramah lingkungan dan pada akhirnya ”memaksa” produsen untuk memproduksi produk yang ramah lingkungan.

Manager Industrial & Institute Service Testex Adrian Meili mengatakan, saat ini eco-friendly production merupakan salah satu pertimbangan utama para buyer internasional selain kualitas dan harga. ”Pada 2006, 54,9 persen buyer memilih produk yang memiliki sertifikasi bebas bahan kimia berbahaya serta 45 persen memilih produk yang diproduksi secara ramah lingkungan. Tren ini meningkat dari tahun 2002 yang angkanya berturutturut 41,9 persen dan 35,1 persen,” ujar Meili. Hal tersebut membuktikan bahwa sertifikasi menjadi faktor penting yang harus dimiliki pelaku mode untuk meningkatkan daya saing di pasar global.

Mendapatkan sertifikasi sendiri bukanlah perkara gampang. Tidak sembarangan perusahaan bisa mengeluarkan sertifikat aman dari bahan kimia berbahaya. Di Indonesia, Testex menjadi satu-satunya institusi pengujian yang berwenang mengeluarkan sertifikasi Oeko-Tex yang menjamin suatu produk tekstil mulai serat hingga garmen bebas dari zat kimia berbahaya dan telah diterima secara global di hampir seluruh wilayah Eropa dan Amerika.

”Untuk sertifikasi sendiri sebenarnya pemerintah tidak mewajibkan. Namun jika memang ingin mengekspor ke Eropa atau Amerika, maka sertifikasi itu menjadi faktor penting bagi buyer karena seperti yang kita tahu, buyer Eropa dan Amerika sudah lebih concern terhadap lingkungan,” terang Redma. Dia juga menyatakan memiliki sertifikasi seperti Oeko-Tex tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan peluang ekspor menjadi lebih besar.

”Sayangnya, sertifikasi itu harganya mahal dan kebanyakan industri kita belum mampu untuk membayarnya. Di China dan Korea, pemerintahnya sudah lebih maju dan mendukung perkembangan industri tekstil dengan membiayai sertifikasi, tapi di Indonesia masih belum. Saya rasa itu jadi PR buat mereka,” tambahnya.

Terlepas dari itu, industri mode Indonesia pun sudah menunjukkan geliatnya di pasar global. Baru-baru ini, Musa Widyatmodjo berhasil menembus pasar New York lewat lini sekunder M by Musa, sementara Didi Budiardjo dan Thomas Sigar memikat masyarakat Jepang dalam sebuah acara budaya. Di Paris, Ali Charisma, Oka Diputra, juga Didi Budiardjo, telah memiliki basis konsumen sendiri. Dan di Hong Kong, Era Soekamto berusaha memikat pasar dengan koleksi bernapas etnik yang ditawarkan dan di Singapura, desainer Indonesia telah menjadi langganan para sosialitanya untuk dikenakan di berbagai kesempatan.
(Koran SI/Koran SI/tty)

sumber : okezone.com

Link berita lainnya :

Fenomena tante girang di internet
Tren Cincin Pernikahan 2010
Grosir Sprei Batik Asli Solo
Grosir Baju Fashion Kaos Blus Wanita Batik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar